

SELAMA lebih dari tiga dekade, nama HM. Soeharto menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan bangsa Indonesia.
Sosok yang memimpin negara dari tahun 1967 hingga 1998 ini meninggalkan jejak yang kompleks: di satu sisi penuh pencapaian dan stabilitas, namun di sisi lain juga menimbulkan perdebatan panjang tentang cara kepemimpinannya.
Kini, lebih dari dua dekade setelah kejatuhannya, wacana mengenai pemberian gelar Pahlawan Nasional kepadanya kembali mencuat, menandai upaya untuk menilai kembali peran Soeharto dalam perspektif sejarah yang lebih utuh.
Pemulihan Stabilitas Nasional Pasca Krisis 1965
Soeharto muncul ke panggung sejarah nasional di tengah krisis besar β pasca peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Situasi negara kala itu sangat genting: ekonomi runtuh, harga melambung, dan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah menurun drastis.
Dalam kondisi seperti itu, Soeharto tampil sebagai figur militer yang menenangkan dan dianggap mampu mengembalikan ketertiban.
Melalui pendekatan keamanan dan stabilitas, ia menata kembali struktur politik serta memulihkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Langkah-langkah itu melahirkan era baru yang dikenal sebagai Orde Baru, dengan fokus utama pada pemulihan ekonomi dan pembangunan nasional.
Dalam pandangan sebagian kalangan, keberhasilan Soeharto menghindarkan Indonesia dari kekacauan dan perpecahan pada masa itu merupakan salah satu jasa terbesar yang menandai kepemimpinannya.
Arsitek Pembangunan dan Swasembada Pangan
Salah satu warisan paling diingat dari masa pemerintahan Soeharto adalah pembangunan ekonomi yang sistematis dan berjangka panjang.
Melalui program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dan GBHN (Garis Besar Haluan Negara), pemerintah Orde Baru menata arah pembangunan nasional secara terukur. Fokusnya jelas: meningkatkan produksi pangan, memperluas infrastruktur, dan menciptakan lapangan kerja.
Keberhasilan terbesar dicapai pada pertengahan 1980-an, ketika Indonesia mencapai swasembada beras tahun 1984, sebuah pencapaian yang bahkan diakui oleh Organisasi Pangan Dunia (FAO).
Soeharto menerima penghargaan internasional karena dianggap berhasil menjamin kedaulatan pangan bagi lebih dari 150 juta rakyat Indonesia pada masa itu.
Kebijakan pembangunan pertanian, irigasi, serta distribusi pupuk bersubsidi menjadi fondasi penting dalam menjaga stabilitas pangan nasional.
Tidak berlebihan bila banyak pihak menilai bahwa Soeharto berhasil menerjemahkan pembangunan ekonomi ke dalam bentuk nyata β ketersediaan makanan di meja rakyat.
Stabilitas Harga dan Perlindungan Rakyat Kecil
Selain keberhasilan di sektor produksi, Soeharto dikenal sebagai presiden yang menjaga harga sembako tetap murah dan stabil. Ia memandang pangan bukan semata persoalan ekonomi, tetapi juga politik kesejahteraan.
Melalui BULOG (Badan Urusan Logistik), pemerintah Orde Baru mengendalikan distribusi bahan pokok seperti beras, gula, dan minyak goreng untuk memastikan keterjangkauan harga bagi masyarakat kecil.
Konsep stabilitas harga ini bukan hanya soal angka, melainkan upaya menjaga ketenangan sosial. Rakyat yang dapat makan dengan harga terjangkau dianggap sebagai fondasi bagi ketertiban dan produktivitas nasional.
Dalam pandangan sebagian besar masyarakat di era itu, Soeharto adalah sosok βbapakβ yang memastikan rakyatnya tidak lapar di tengah guncangan ekonomi dunia.
Sekolah Inpres dan Pemerataan Pendidikan Nasional
Salah satu langkah monumental yang membedakan Soeharto dengan para pemimpin sebelumnya adalah kebijakan Instruksi Presiden (Inpres) di bidang pendidikan.
Program Sekolah Dasar Inpres diluncurkan pada awal 1970-an dengan tujuan agar setiap anak Indonesia memiliki akses terhadap pendidikan dasar, terutama di daerah pelosok yang sebelumnya tidak tersentuh pembangunan.
Ribuan gedung sekolah dibangun di seluruh penjuru nusantara. Pemerintah juga menugaskan ribuan guru ke daerah-daerah terpencil melalui Program Inpres Guru. Hasilnya luar biasa β angka melek huruf nasional melonjak dari sekitar 60% pada akhir 1960-an menjadi lebih dari 90% pada akhir 1980-an.
Kebijakan itu melahirkan generasi baru Indonesia yang berpendidikan, membuka akses pengetahuan bagi anak-anak dari keluarga petani, nelayan, hingga masyarakat pedalaman.
Banyak tokoh nasional generasi 1990-an dan 2000-an yang tumbuh dari sekolah Inpres, menjadikan program ini simbol keberhasilan pemerataan pendidikan di masa Soeharto.
Pembangunan Nasional dan Kemandirian Ekonomi
Soeharto juga mengedepankan pembangunan infrastruktur sebagai tulang punggung kemajuan ekonomi. Jalan raya, jembatan, waduk, dan fasilitas industri dibangun besar-besaran.
BUMN strategis seperti PT Pindad, Krakatau Steel, Pertamina, dan IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) menjadi cerminan visi besar Soeharto untuk menjadikan Indonesia mandiri di bidang teknologi dan industri.
Era 1980-an sering disebut sebagai masa βboom pembangunanβ, di mana ekonomi tumbuh rata-rata 7% per tahun dan inflasi terkendali. Indonesia juga diakui oleh Bank Dunia sebagai salah satu negara berkembang yang berhasil keluar dari status βlow income countryβ.
Meskipun pada masa-masa berikutnya muncul kritik terhadap utang luar negeri dan ketimpangan ekonomi, tak dapat disangkal bahwa fondasi industrialisasi nasional diletakkan secara kokoh pada masa kepemimpinan Soeharto.
Pancasila dan Penguatan Nasionalisme
Selain aspek ekonomi dan sosial, Soeharto menempatkan Pancasila sebagai ideologi utama bangsa. Ia memperkenalkan program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), yang menjadi pendidikan ideologis di sekolah, universitas, dan lembaga pemerintahan.
Langkah ini menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan kebanggaan terhadap identitas Indonesia, di tengah derasnya arus globalisasi pada masa itu.
Program seperti Gerakan Cinta Rupiah dan Bangga Buatan Indonesia menjadi manifestasi semangat kemandirian ekonomi yang berpadu dengan nasionalisme.
Bagi banyak masyarakat yang hidup di masa itu, Soeharto tidak hanya dipandang sebagai kepala negara, tetapi sebagai simbol ketertiban dan kebanggaan nasional. Ia memelihara keseimbangan antara pembangunan fisik dan pembentukan karakter bangsa.
Warisan dan Penilaian Sejarah
Setelah kejatuhannya tahun 1998, Soeharto menghadapi kritik tajam atas praktik korupsi, otoritarianisme, dan pelanggaran hak politik.
Namun seiring waktu, generasi baru mulai menilai ulang masa pemerintahannya dengan lebih objektif β menimbang jasa dan kesalahan secara proporsional.
Bagi sebagian kalangan, terutama yang hidup di masa Orde Baru, Soeharto tetap dikenang sebagai βBapak Pembangunanβ, sosok yang membawa Indonesia keluar dari krisis dan menegakkan stabilitas yang memungkinkan kemajuan ekonomi dan sosial.
Bagi kalangan muda, refleksi atas masa pemerintahannya menjadi pelajaran penting bahwa pembangunan memerlukan kepemimpinan kuat, visi jangka panjang, dan kebijakan berpihak kepada rakyat kecil.
Penutup: Menilai dengan Keseimbangan
Menilai sosok besar seperti Soeharto tidak dapat dilakukan dengan kacamata tunggal. Ia adalah bagian dari sejarah yang menghadirkan paradoks β antara stabilitas dan kontrol, antara kemajuan dan keterbatasan demokrasi.
Namun di luar segala kontroversinya, warisan konkret yang ditinggalkannya tetap dirasakan hingga kini: stabilitas pangan, sekolah-sekolah di desa, dan infrastruktur yang menopang perekonomian modern Indonesia.
Dalam konteks itu, wacana untuk mengangkat Soeharto sebagai Pahlawan Nasional muncul bukan semata soal penghargaan pribadi, melainkan upaya untuk mengenang satu bab penting dari perjalanan bangsa.
Sejarah, pada akhirnya, bukan tentang menghapus kesalahan, tetapi tentang memahami bagaimana seorang pemimpin membentuk arah dan nasib bangsanya.
Hai pembaca setia! Temukan solusi media online Anda di 











